Influencer fraud: risiko mengintai di balik pemasaran influencer
Nama-nama seperti Shannon Haris, Em Ford, Chiara Ferragni mungkin sudah terdengar tidak asing ditelinga Anda. Di Indonesia, nama Atta Halilintar, Rachel Vennya, and Ria Ricis sudah tidak asing karena kita sering menjumpai mereka di platform media sosial – Instagram, YouTube dan blog – dengan ribuan hingga jutaan followers. Individu-individu ini menciptakan konten yang memberikan pengaruh terhadap perilaku online dan offline para ‘followers’ mereka, termasuk dalam hal keputusan pembelian.
Mereka inilah yang kita sebut ‘influencers’. Hubungan dan kepercayaan antara influencers dan para followers ini menjadi daya tarik bagi banyak merek untuk memasarkan merek dan produk-produknya.
Sumber di Linkedin menyatakan bahwa konsumen lebih percaya pada ‘influencers’ daripada iklan-iklan konvensional – billboard, flyer, brosur, TV, dan iklan di media-media cetak.
Melalui storytelling yang dibangun ‘influencer’ di platform digital mereka, merek berharap pesan merek akan terdengar lebih seperti manusia daripada sekadar logo. Kualitas seperti manusia inilah yang memungkinkan merek untuk menggapai konsumen yang sudah berbondong-bondong pindah ke platform digital. Pada akhirnya, merek berharap mendapatkan kepercayaan, kesadaran, dan loyalitas di antara konsumennya dan suara ‘influencers’ memiliki kekuatan untuk menghasilkan itu semua.
Era digital memang menawarkan peluang baru dalam menggapai konsumen yang belum pernah ditawarkan oleh era-era sebelumnya. Namun, ada risiko mengintai di balik peluang tersebut. Seperti metode-metode pemasaran lainnya, pemasaran digital melalui ‘influencer’ juga membawa risiko terhadap reputasi merek dan bahkan bisa membahayakan merek lebih dari metode pemasaran konvensional.
Salah satu risikonya yaitu influencer fraud. Istilah ini semakin popular seiring dengan meningkatnya tren pemasaran digital melalui ‘influencer’ sejak sekitar delapan tahun lalu. ‘Influencer’ pelaku kecurangan melakukan praktik kecurangan dengan memanipulasi ‘social engagement’.
Di dunia di mana statistik menjadi sebuah mata uang, jumlah ‘followers’ dan ‘engagement’ menjadi penting bagi ‘influencer’. Untuk mengukuhkan status di media sosial dan menarik merek, alih-alih mendapatkan banyak ‘followers’ dengan cara organik, ‘influencer’ yang melakukan kecurangan mendapatkannya dengan cara membeli. Ada banyak kasus juga di mana ‘influencers’ ini menggunakan perangkat lunak atau ‘bot’ agar secara otomatis menghasilkan ‘likes’, ‘comments’ and ‘share’ di media sosial. Pada akhirnya, praktik-praktik seperti ini tidak akan membuat merek mendapatkan kepercayaan dan kesadaran yang sebenarnya dari konsumen dan influencer pelaku kecurangan akan merusak reputasi dan merugikan merek dengan jumlah nominal yang substansial.
Namun begitu, pemasaran digital melalui ‘influencer’ sudah menjadi tren yang sangat menarik dalam beberapa tahun terakhir. Metode pemasaran ini memang memberi keuntungan bagi merek, tapi di saat yang sama juga membawa risiko bagi merek. Menilai risiko-risiko yang mungkin dipaparkan oleh ‘influencer’, penting bagi merek untuk melakukan mitigasi dalam mengelola reputasi mereka.
Satu langkah penting yang perlu diambil merek sebelum memutuskan untuk bekerjasama dengan influencer manapun adalah dengan melakukan background check. Dengan melakukan langkah ini, merek akan mendapatkan informasi tentang latar belakang calon ‘influencer’ – siapa pemilik akun sebenarnya, apakah ‘follower’ dan ‘engagement’ yang ia hasilkan asli, dan apakah ia pernah terlibat dalam aksi kriminal.
Integrity selama lebih dari tujuh belas tahun sudah dipercaya oleh banyak klien untuk memberikan solusi mitigasi, termasuk layanan background check. Kami juga menyedia layanan pemeriksaan lainnya, seperti credit check dan criminal check. Untuk informasi detail mengenai layanan-layanan tersebut jangan ragu untuk mengontak kami melalui contact@integrity-indonesia.com dan percayakan kami sebagai mitra dalam mengelola reputasi merek Anda.