Quo Vadis, FIFA?

Quo Vadis, FIFA?

FIFA world cup 2022
Credit: FauzanSaari/historyofsoccer.info

Piala Dunia 2022 kembali digelar FIFA. Hasil mengejutkan dari turnamen sepak bola terbesar di dunia yang diselenggarakan di Qatar, telah terlihat. Argentina secara tak terduga takluk 2-1 setelah Al-Dawsari dari tim Arab Saudi yang tidak diunggulkan mencetak gol menakjubkan dalam pertandingan pembuka Piala Dunia 2022.

Satu hari kemudian, tim Samurai Biru Jepang membuat kejutan terbesar kedua tahun ini dengan mengklaim kemenangan atas salah satu tim favorit, Jerman. Dan hanya beberapa hari yang lalu, Maroko menang 2-0 atas Belgia.

Kemenangan yang tak terduga tersebut hanya sekilas dari hiruk pikuk yang menghiasi perhelatan akbar ini. FIFA sebagai penyelenggara tak lepas dari sorotan terkait dugaan banyak skandal keuangan para eksekutifnya yang muncul sejak 2015, termasuk dugaan skandal pemilihan tuan rumah Piala Dunia Qatar 2022.

Kasus ini ditunjukkan melalui serial dokumenter, FIFA Uncovered, yang dirilis oleh Netflix, sebelas hari sebelum Piala Dunia 2022 digelar. Dokumenter ini turut mewawancarai beberapa tokoh penting dalam skandal tersebut, termasuk mantan Presiden FIFA, Sepp Blatter.

Power tends to corrupt

FIFA bukan sekadar organisasi nirlaba sepak bola. Serial dokumenter yang terbagi menjadi empat episode ini menggambarkan bagaimana organisasi ini memiliki pengaruh lebih dari yang dibayangkan publik. Organisasi yang didirikan sejak 1904 ini bertransformasi menjadi sebuah bisnis global, otoritas pemegang lisensi, dan bahkan mesin politik yang melibatkan petinggi negara.

Perhelatan Piala Dunia yang diadakan FIFA menjadi turnamen terbesar di dunia yang disiarkan di sebagian besar negara yang sanggup menumpahkan jutaan orang ke jalan. Mulai dari dukungan merek-merek ternama, iklan, tiket stadion, hingga hak siar pertandingan, uang mengalir deras untuk FIFA.

Dengan begitu, perhelatan empat tahun sekali ini menjadi mesin uang yang membuat FIFA dan presidennya memiliki kekuatan besar dan pengaruh terhadap banyak negara. Seperti adagium “Power tends to corrupt. Absolute power, corrupts absolutely”, dari kekuasaan inilah menjadi pintu masuk korupsi dan skandal-skandal keuangan lainnya di tubuh FIFA.

Skandal demi skandal

Serial dokumenter ini dibuka dengan rekaman penangkapan 14 anggota eksekutif FIFA atas dugaan korupsi, penyuapan, pemerasan, dan tindak pidana pencucian uang pada 2015 oleh Biro Investigasi Federal (FBI) dan Internal Revenue Service Criminal Investigation Division.

Para eksekutif ini kemudian didakwa telah melanggar sistem keuangan AS berdasarkan temuan berbagai kasus, termasuk permufakatan jahat dengan petinggi federasi sepak bola Amerika Selatan (CONMEBOL) dan Kepulauan Karibia (CONCACAF).

Selanjutnya, skandal demi skandal keuangan yang sistemik ditunjukkan oleh dokumenter ini. Dari skandal suap mantan presiden FIFA Joao Havelange, yaitu pembelian suara EXCO dalam pemilihan Presiden FIFA tahun 1998 yang menempatkan Blatter di kursi kekuasaan, hingga yang terkini, yaitu dugaan suap dalam pemilihan Rusia dan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022.

Salah satu tuduhan yang paling menyeruak adalah transaksi 10 juta dolar dari Afrika Selatan dengan subjek dana diaspora kepada dua eksekutif FIFA, Jack Warner dan Chuck Blazer. Tidak pernah ada program bagi diaspora Afrika Selatan yang dibuat dengan dana tersebut dan kemudian terbukti bahwa ternyata itu adalah suap untuk memilih Afrika Selatan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2010.

Dari semua skandal yang berlangsung selama dua dekade lebih dan melibatkan orang-orang kunci di sekitarnya, Blatter tidak pernah didakwa oleh pihak berwenang AS lantaran tidak ada bukti yang cukup kuat untuk mendakwanya.

Akhirnya, temuan catatan transaksi tidak sah kepada Presiden UEFA Michel Platini sebesar 2 juta franc Swiss membuat Blatter dipaksa turun tahta pada 2015 setelah memimpin FIFA selama 17 tahun. Ia dan Platini dituduh melakukan penipuan.

Tuduhan tersebut memang tidak terbukti di pengadilan. Akan tetapi, akibat pelanggaran kode etik FIFA, Platini dilarang berkecimpung di dunia sepak bola selama 8 tahun, dan hingga 2028 untuk Blatter.

Akar budaya koruptif

Skandal keuangan di tubuh FIFA yang berlangsung selama puluhan tahun terjadi karena kultur yang tidak mengusung transparansi. Hal ini terbukti dari ketiadaan pengawasan terhadap organisasi nirlaba ini sebelum terjadi penangkapan para eksekutifnya.

Bahkan, ketika Blatter mengatakan ingin mereformasi FIFA agar lebih transparan dalam rangka memulihkan kepercayaan publik, hal itu hanya berujung pada status quo. Salah satunya karena FIFA tidak melibatkan pihak independen dari luar dalam pengawasan organisasinya, melainkan hanya komite etik internal yang diklaim independen oleh Blatter, tetapi digaji oleh FIFA.

Faktanya, dalam banyak kasus untuk mengubah sebuah kultur, tidak akan cukup dengan hanya tone from the top, namun harus diikuti dengan walk the talk. Sayangnya, Blatter sebagai pemimpin tidak melakukan itu.

Alexandra Wrage, mantan penasihat Tata Kelola FIFA, mengatakan bahwa ia tidak menyangka kekuasaan Blatter sangat absolut dan sangat resisten terhadap perubahan yang membuat dirinya kesulitan menjalankan tugas dan memberikan dampak perubahan. Rekomendasi-rekomendasi tata kelola yang diungkapkan oleh panel penasihatnya tidak diindahkan oleh FIFA.

Mau ke mana, FIFA?

Idealnya, pengawasan terhadap organisasi terdiri dari pihak eksternal dan internal organisasi dan diperlengkapi dengan berbagai alat kepatuhan. Reformasi ini dilakukan oleh FIFA sejak di bawah kepemimpinan Gianni Infantino.

Sayangnya, saat ini, Infantino sedang diselidiki oleh dua jaksa khusus Swiss untuk kasus “indikasi tindakan kriminal” dalam pertemuan rahasianya (tidak terdokumentasi) pada 2016-2017 dengan mantan jaksa agung Swiss Michael Lauber, yang mengawasi penyelidikan skandal korupsi FIFA 2015.

Fakta bahwa Infantino menetap di Qatar juga menjadi sorotan media yang menduga tekanan-tekanan yang sedang dihadapinya di Swiss. Adanya kasus ini menjadi ironi bagi pemimpin yang menjanjikan akan mengembalikan akuntabilitas dan integritas organisasi.

Terlepas dari bagaimana keputusan pengadilan Swiss nantinya terhadap Infantino, kasus ini menimbulkan pertanyaan di benak publik: Akan dibawa ke mana, FIFA?

Belajar dari kasus FIFA, satu hal yang perlu menjadi catatan bagi semua organisasi adalah bahwa tidak ada organisasi yang benar-benar bersih atau imun dari fraud karena selalu ada celah terjadinya fraud. Namun, dengan adanya kontrol yang memadai, dapat meminimalkan risiko fraud.

 


Putri

Photo by Fauzan Saari on Unsplash

Share this post


ANGGOTA DARI

KANTOR PUSAT

ALAMAT

Jl. RS. Fatmawati Raya No. 57-B, Cilandak Barat, Jakarta 12430, Indonesia

TELEPON

EMAIL

BERLANGGANAN NEWSLETTER

Dapatkan pembaruan dan penawaran terbaru

    REFERAL KAMI

    Copyright – INTEGRITY – All Rights Reserved © 2023 – Privacy Policy | Terms of Services | Content Protection by DMCA.com