Twitter Blue dan risiko keamanan merek di media sosial

Twitter Blue dan risiko keamanan merek di media sosial

twitter blueSekitar akhir Oktober, Elon Musk akhirnya menyelesaikan pembelian Twitter yang prosesnya sudah berlangsung sejak medio April 2022. Setelah pembelian rampung, Musk melakukan banyak perubahan pada perusahaan tersebut. Salah satu kebijakan yang sempat membuat hiruk pikuk adalah program “Twitter Blue”.

Program atau fitur baru ini memungkinkan siapa pun, perseorangan maupun organisasi, memperoleh centang biru (blue verified badge) dengan membayar sebesar US$8 setiap bulan. Layanan baru ini memanen kekhawatiran dari banyak merek ternama.

Dalam deskripsi programnya, Twitter menyatakan bahwa definisi verifikasi dan tanda centang biru yang menyertainya berubah. Dulu, untuk mendapatkan centang biru, sebuah merek akan diverifikasi dengan kriteria yang kompleks, meliputi otentisitas/keaslian, diakui khalayak, dan aktif.

Kini, akun dengan centang biru dapat diperoleh dengan syarat akun telah diverifikasi sebagai asli atau akun tersebut langganan berbayar secara aktif sebagai “Twitter Blue”. Masalahnya, akun-akun yang berlangganan Twitter Blue tidak akan menjalani verifikasi untuk mengonfirmasi bahwa mereka memenuhi kriteria aktif, menonjol, dan autentik—kriteria yang digunakan dalam proses verifikasi centang biru sebelumnya.

Dengan begitu, siapa pun, termasuk para peniru, bisa mendapatkan centang biru. Situasi ini membawa risiko bagi keamanan merek. Akun tiruan dapat membingungkan konsumen yang pada gilirannya merusak reputasi merek.

Benar saja, beberapa jam setelah program tersebut berjalan, akun-akun tiruan dengan centang biru bermunculan. Nestlé, Apple, Pepsico, serta merek milik Musk sendiri, SpaceX, turut menjadi korban. Akun-akun tiruan ini men-tweet konten hoax dan kontroversial. Akun tiruan Apple, misalnya, merilis tweet pengumuman produk baru.

Twitter sendiri juga menjadi korban. Akun tiruan Twitter memposting serangkaian tweet, mengklaim bahwa pemegang NFT sekarang bisa mendapatkan Twitter Blue secara gratis dengan mengautentikasi aset dompet mereka.

Tweet selanjutnya mengarahkan pengguna untuk ‘mengautentikasi’ aset digital mereka dengan mengakses tautan, seperti ‘twitter-blue.com’ dan ‘twitterblue.com’. Tweet semacam ini jelas membawa risiko phishing, penipuan, atau bahkan malware bagi konsumen.

Keberadaan akun-akun tiruan yang tidak terkontrol tersebut membuat merek dan agensi menghentikan iklan mereka sementara waktu di platform tersebut. Buntutnya, Musk menunda peluncuran resmi program tersebut.

Merek sebagai harta berharga

Bagi para pelaku tindakan pelanggaran merek, semua tindakan tersebut pada dasarnya bertujuan sama, yaitu memanfaatkan reputasi sebuah merek demi keuntungan mereka. Sebuah merek dagang yang sudah dikenal luas merupakan sesuatu yang sangat berharga, bahkan melebihi nilai aktual produk yang diwakilinya.

Bagi pemilik merek, konsekuensi dari pelanggaran merek tentunya adalah kehilangan pendapatan. Maraknya barang palsu yang mengatasnamakan merek terkenal mengakibatkan konsumen berpotensi terjebak membeli barang palsu—entah secara sadar atau tidak.

Namun, konsekuensi yang tidak kalah merugikan adalah potensi rusaknya kepercayaan konsumen terhadap merek tersebut. Hal ini menjadi kekhawatiran para manager brand dan agensi periklanan ketika brand impersonator (peniru) merajalela di Twitter beberapa waktu lalu.

Perlindungan merek sepanjang masa

Pada awal mulanya, merek merupakan bentuk klaim kepemilikan dari sebuah produk atau inovasi. Seiring perjalanan waktu, pelanggaran dan perebutan merek merupakan risiko yang harus dihadapi oleh para pemilik merek.

Di era digital, risiko tersebut semakin diproliferasi oleh teknologi yang terus berkembang. Di satu sisi, internet, khususnya media sosial, menciptakan lebih banyak peluang bagi perusahaan dalam membangun kesadaran dan memelihara merek.

Namun, di sisi lain, akibat jangkauan dan keterbukaan media sosial membuat ancaman terhadap keamanan merek meningkat drastis, seperti risiko ancaman pencurian intellectual property (IP), peredaran barang palsu, domain spoofing, serangan phishing, social media impersonation, dan lain-lain. Kini, upaya perlindungan merek tak hanya memastikan merek terdaftar secara legal dan menempatkan iklan di tempat yang layak, tetapi juga mengombinasikan segala upaya pencegahan agar konsumen mereka tidak terlibat dengan konten berbahaya melalui social media impersonation, seperti pada kasus Twitter Blue. Salah satu upaya tersebut adalah dengan melakukan pemantauan di media sosial.

Setiap platform media sosial memiliki kebijakan brand safety masing-masing. Secara umum, mereka memungkinkan pemilik merek untuk melaporkan pelanggaran. Apabila pelanggaran tersebut terbukti, mereka akan menghapus (takedown) konten atau akun tersebut.

Merek dapat memanfaatkan kebijakan tersebut. Pemantauan komprehensif dan penegakan hukum yang cepat sangat penting untuk mengurangi jumlah konsumen yang menjadi korban.
Akan tetapi, pemantauan bukanlah pekerjaan sederhana. Dibutuhkan strategi, konsistensi, dan sumber daya manusia yang profesional dalam bidang ini.

Integrity Indonesia siap membantu pemilik merek melindungi identitas dan reputasi merek mereka dengan memerangi pelanggaran produk dan merek mereka. Selain melakukan penghapusan produk palsu di saluran daring, Integrity Indonesia juga berpengalaman dalam melakukan pemantauan secara terus menerus untuk mendeteksi dan mengidentifikasi apakah produk yang dilanggar ditawarkan kembali menggunakan akun atau saluran yang berbeda.

 


Putri

Photo by Souvik Banerjee on Unsplash

Bagikan artikel


ANGGOTA DARI

KANTOR PUSAT

ALAMAT

Jl. RS. Fatmawati Raya No. 57-B, Cilandak Barat, Jakarta 12430, Indonesia

TELEPON

SUREL

BERLANGGANAN BULETIN

Dapatkan perkembangan berita dan wawasan industri

    REFERAL KAMI

    Hak Cipta – INTEGRITY – Hak Cipta Dilindungi Undang-undang © 2023 – Kebijakan Privasi | Persyaratan Layanan| Content Protection by DMCA.com