Pelajaran Bagi Perusahaan Fintech di Balik Mega Skandal Wirecard
Pasar saham Jerman diguncang skandal perusahaan platform pembayaran digital asal Jerman, Wirecard, yang kehilangan uang bernilai seperempat dari aset perusahaan, tepatnya US$ 2,1 miliar atau setara dengan Rp 29,61 triliun. Pencarian untuk dana yang hilang telah difokuskan pada Filipina, tetapi Bank Sentral Filipina mengatakan tidak ada uang masuk ke negara itu, setelah Bank Kepulauan Filipina (BPI) dan BDO Unibank mengatakan dokumen yang menunjukkan bahwa Wirecard telah menyetor dana ke mereka adalah palsu. Kedua bank besar di Filipina ini mengatakan Wirecard bukan klien mereka.
Skandal Wirecard berawal dari pemeriksaan pembukuan yang dilakukan konsultan dan auditor bisnis Ernst & Young (EY) ketika sedang menguji laporan neraca perusahaan digital primadona yang berpusat di Munchen. Minggu lalu, EY menolak laporan neraca untuk tahun 2019 Wirecard dan mengatakan, mereka tidak bisa menemukan dana 1,9 miliar Euro.
Kejanggalan itu sebenarnya sudah terlacak oleh konsultan bisnis KPMG ketika memeriksa pembukuan Wirecard untuk tahun 2019. EY lalu melanjutkan penyelidikan KPMG untuk mengungkap keberadaan dana 1,9 miliar euro itu, yang menurut perusahaan disimpan di beberapa rekening bank di Asia, namun ternyata tidak ditemukan.
Dilansir CNN, Selasa (23/6/2020), skandal ini telah membuat saham Wirecard (WCAGY) jatuh pada awal perdagangan hari Senin. Saham telah anjlok lebih dari 85% selama tiga sesi perdagangan dan menghapus nilai pasar US$ 12,5 miliar. Selain itu, CEO Wirecard Markus Braun mengundurkan diri dan sempat ditahan pihak kepolisian Jerman.
Mega skandal Wirecard yang mengguncang perekonomian Jerman menjadi pelajaran penting bagi perusahaan fintech untuk menerapkan manajemen risiko yang menyeluruh. Internal kontrol yang lemah diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya penipuan di perusahaan ini.
Kurangnya kontrol internal membuat perusahaan lebih rentan terkena fraud, seperti yang dilaporkan oleh Report to The Nation 2020 yang menempati posisi teratas sebanyak 32%. Seharusnya, perusahaan menerapkan kontrol internal dengan manajemen risiko yang baik. Kontrol internal yang kuat dapat membuat perusahaan lebih bisa mengevaluasi dan mengelola risiko yang akan terjadi, serta tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Selain itu, kontrol internal yang kuat juga dapat mengatur budaya dan perilaku perusahaan untuk lebih efektif dalam menghadapi manajemen risiko perusahaan.
Ditulis oleh: Aqilla N
Photo by Jonas Leupe on Unsplash