Deteksi Fraud: Ini Mengapa Kecerdasan Buatan Tak Bisa Gantikan Kecerdasan Manusia

Deteksi Fraud: Ini Mengapa Kecerdasan Buatan Tak Bisa Gantikan Kecerdasan Manusia

Artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan jelas akan menjadi sesuatu yang besar di masa mendatang, termasuk dalam bidang deteksi fraud, misalnya dalam e-commerce, perbankan dan jenis bisnis lainnya. Banyak isu yang beredar bahwa kehadiran AI akan menggantikan peran manusia. AI memang alat yang berharga dalam melawan fraud, namun teknologi ini tetap mengandalkan input dan wawasan manusia dalam menciptakan solusi komprehensif untuk memberikan hasil terbaik. Berikut beberapa alasan mengapa kecerdasan manusia tetap diperlukan dalam operasi AI.

 

Mesin AI bisa salah menandai

Algoritma sangat berguna untuk mengidentifikasi potensi fraud dengan cepat, namun faktor lain bisa membuat mesin salah menandai fraud. Contohnya, konsumen yang melakukan transaksi pembelian saat bepergian ke luar negeri, bisa saja transaksi tersebut ditolak oleh pihak bank lantaran ditandai sebagai potensi fraud.

Kesalahan tersebut tentu merugikan pihak merchant. MasterCard dan Javelin menemukan bahwa 32% konsumen yang menerima penolakan yang salah tersebut tak pernah lagi berbelanja di merchant tersebut. Dengan begitu ada potensi hilangnya pemasukan di masa mendatang dan potensi biaya yang harus dikeluarkan merchant untuk menarik pelanggan baru akibat salah penolakan.

Mempertimbangkan biaya pembelian yang hilang di masa depan, serta biaya relatif yang lebih tinggi untuk menarik pelanggan baru dibandingkan mempertahankan yang sudah ada, kesalahan penandaan semacam ini kemungkinan memiliki dampak yang besar terhadap merchant. Untuk mencegah penandaan yang salah dan membuat mesin AI mendeteksi potensi fraud lebih kontekstual, bisnis harus mengombinasikan antara algoritma AI dengan data yang dikumpulkan oleh analis manusia.

 

Mesin AI pelajari beragam pola fraud dari analis manusia

Beda segmen bisnis, beda pola fraud. Contohnya, paparan pola botnet fraud (penipuan melalui link yang mengandung malware) cenderung paling tinggi dalam segmen bisnis digital – perbankan digital, aplikasi online, dan sebagainya. Adapun paparan pola friendly fraud cenderung tinggi pada segmen barang mewah. Algoritma yang efektif akan memperhitungkan pola-pola tersebut dan perubahannya di setiap segmen dan geografi pasar. Bagaimana algoritma bisa memperhitungkannya? Tentu dengan input dan wawasan dari para analis yang berpengalaman dengan pola-pola fraud di setiap segmennya.

Intinya, analis manusia memiliki pengetahuan yang mendalam tentang klien, lansekap segmen di mana terdapat pola-pola fraud tertentu, kemampuan berkomunikasi langsung dengan pihak yang terlibat transaksi yang salah ditandai, dan memiliki intuisi dan serta pengalaman dalam mengenali pola-pola baru fraud. Pada akhirnya kecerdasan manusia masih sangat diperlukan untuk pengembangan mesin AI.

 

 

Sumber:

Machine Learning and Fraud: Why Artificial Intelligence Isn’t Enough

 

 

Bagikan artikel


ANGGOTA DARI

KANTOR PUSAT

ALAMAT

Jl. RS. Fatmawati Raya No. 57-B, Cilandak Barat, Jakarta 12430, Indonesia

TELEPON

SUREL

BERLANGGANAN BULETIN

Dapatkan perkembangan berita dan wawasan industri

    REFERAL KAMI

    Hak Cipta – INTEGRITY – Hak Cipta Dilindungi Undang-undang © 2023 – Kebijakan Privasi | Persyaratan Layanan| Content Protection by DMCA.com