Screening Media Sosial: 57% Perekrut Putuskan Tak Pekerjakan Kandidat
Berdasarkan Pew Research, persentase generasi milennial mencakup 27% dari populasi penduduk dunia. India, Tiongkok, Amerika Serikat, Indonesia dan Brazil adalah lima negara dengan jumlah populasi milennial terbanyak.
Generasi milennial – lahir tahun 1982-2004 – dikenal sebagai generasi yang melek teknologi dan selalu ‘terhubung’. Generasi ini adalah mereka yang terbiasa mengoperasikan teve dengan remote sejak kecil, tumbuh remaja dengan Friendster, menjadi dewasa dan lekat dengan smartphone.
Saat ini tenaga kerja di Indonesia didominasi oleh generasi milennial. Oleh karena itu, perusahaan perlu melakukan penyesuaian, salah satunya terkait proses perekrutan.
Screening media sosial
Secara umum, seorang milennial setidaknya punya satu akun media sosial, entah itu Facebook, Twitter, Instagram atau lainnya. Mereka cenderung suka berbagi informasi, spoken out dan attention seeker di ranah digital demi mendapatkan banyak ‘likes’, ‘comment’ dan ‘followers’. Perilaku generasi ini yang cenderung terbuka di ruang digital dapat menjadi keuntungan bagi perusahaan untuk mencari tahu sisi lain dari kandidat karyawannya melalui screening media sosial.
Survei yang dilakukan oleh CareerBuilder menemukan sebanyak 70% pemberi kerja menggunakan jejaring sosial untuk mencari calon karyawan. Sejumlah tersebut, 57% menemukan konten yang membuat mereka memutuskan untuk tidak mempekerjakan calon karyawan.
Apa yang dicari melalui screening media sosial?
Informasi profil akun media sosial kandidat bisa saja memberikan informasi yang disukai atau tidak disukai tergantung kebijakan perusahaan. Contohnya, dari foto yang diposting seorang kandidat di profilnya menunjukkan ia pernah mengikuti sebuah gerakan massa yang legal. Bisa jadi bagi perusahaan itu tak masalah karena menurut perusahaan itu adalah bagian dari demokrasi, tapi bagi perusahaan lain mungkin kandidat tersebut tak cocok dengan image dan kultur perusahaan terlepas dari status gerakan massa tersebut.
Dari hasil survei tersebut ditemukan pula beberapa jenis informasi dari media sosial yang umumnya mendorong perekrut memutuskan tak merekrut kandidat, yaitu:
- Foto, video atau informasi yang provokatif dan tak layak (46%)
- Informasi terkait kebiasaan minum dan konsumsi obat terlarang (43%)
- Komentar diskriminasi terkait ras, agama, jenis kelamin dan sebagainya (33%)
- Postingan menghina teman kerja atau perusahaan sebelumnya (31%)
- Keterampilan komunikasi yang payah (29%)
Sedangkan jenis informasi dari media sosial kandidat yang umumnya membuat perusahaan memutuskan untuk mempekerjakan mereka, yaitu:
- Informasi latar belakang yang mendukung kualifikasi pekerjaan (44%)
- Foto, video, postingan yang menunjukkan image profesional seorang kandidat (44%)
- Kepribadian kandidat yang sesuai dengan kultur perusahaan (43%)
- Kandidat menunjukkan ketertarikan pada banyak hal (40%)
- Kandidat memiliki keterampilan komunikasi (36%)
Tantangan screening media sosial
Media sosial bisa menjadi sumber informasi berharga bagi perusahaan yang mungkin tak ditemukan dalam resume kandidat atau tak akan pernah terungkap dalam sebuah sesi wawancara. Namun, screening media sosial tak selalu mudah.
Pada dasarnya semua informasi yang terbuka untuk publik, legal untuk diakses. Tak jadi masalah ketika kandidat menampilkan profil media sosialnya terbuka untuk publik. Masalah adalah ketika profil tersebut di-setting private. Melakukan screening media sosial sendiri berpotensi menyebabkan masalah hukum dan etika. Alternatifnya, perusahaan bisa menggunakan jasa screening pihak ketiga yang terpercaya. Mereka akan memberikan data media search yang komprehensif dan metode yang berpatok pada hukum yang berlaku.
Photo by camilo jimenez on Unsplash